Selasa, 12 April 2016
TUGAS CERPEN"Cerpen" Karangan: Rofinus Jatong
Cerpen Karangan: Rofinus Jatong
Mula-mula aku mati, kemudian terbangun pada tengah malam yang sunyi dan sepi. Ada kilatan di langit, mendung, serta angin bergemuruh. Kakiku tak merasakan kasarnya permukaan tanah, serta tak basah oleh gerimis yang jatuh. Di sekitarku diam tak terhitung jumlah wajah yang mirip bahkan sama dengan wajahku.
“Sepanjang hari ini kau tak menengokku.”
“Ssstt, diam kataku.”
“Ada apa denganmu?”
“Lihatlah wajah-wajah ini sangat mirip denganku, namun mereka terlihat galak dan angkuh.”
“Kau takut?”
“Ya, sungguh, bagaimana mungkin ini terjadi?”
“Kau lupa siapa dirimu!”
“Tidak, aku tidak lupa.”
“Oh, baiklah jika kau masih mengenal dirimu!”
Jalan itu teramat panjang. Gelap gulita. Riuh tangis dari kejauhan menggema pada setiap lekukan dan menghilang pada tikungan-tikungan tajam.
“Kau lelah?”
“Tidak, sama sekali tidak!”
“Kau sadar?”
“Ya, aku sadar!”
“Kau yakin?”
“Ya, aku yakin!”
“Kau mengenal diriku?”
“Ya, tapi aku tak yakin!”
“Aku pernah memiliki seorang sahabat yang sangat setia, namun kemudian ia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun padaku. Ia marah sebelum pergi dan aku tak dapat menahannya!” katanya.
“Ke mana ia pergi?” tanyaku dengan penasaran.
“Aku pun tidak mengetahuinya, tapi kami bertemu pada suatu masa yang tidak diketahui kapan itu terjadi!”
“Oh, ya, yang terjadi padaku justru sebaliknya. Aku tidak memiliki siapa-siapa!”
“Oh, maaf!”
“Tak apa, tidak ada yang perlu disesali.”
Perjalanan itu semakin jauh. Gelap gulita belum berakhir. Wajah-wajah mirip denganku seperti sedang memata-matai aku. Aku tak peduli, tetap ku ayunkan langkahku dengan berani.
“Kau mengenal taubat?”
“Ya, aku pernah mendengarnya saat mengikuti pelajaran agama, tapi itu sudah dulu sekali.”
“Kau pernah melakukannya?”
“Tidak, belum pernah aku lakukan!”
“Kau mengenal pengakuan?”
“Ya, aku pernah melakukannya pada seorang imam!”
“Lalu?”
“Ya, sama saja, karena aku tidak pernah bertaubat dari perbuatan salah yang sama!”
“Kau tak menyesalinya?”
“Ya, aku tak pernah menyesalinya!”
“Mengapa?”
“Semua manusia itu berdosa, tak terkecuali. Sebelum kau berjalan bersamaku, aku telah melihat deretan orang yang dianggap saleh berdiri menanti giliran untuk menjatuhkan diri pada parit berapi itu. Nyalanya sungguh tak terpadamkan. Semua kalangan ada pada antrean panjang itu.”
“Oh, ya, mengapa mereka mau menjatuhkan diri pada parit berapi itu?”
“Mereka adalah orang-orang kalah di pengadilan. Mereka tak cukup bukti untuk memenangkan perkara!”
“Dengan siapa mereka perkara?”
“Aku juga tidak tahu, tapi aku dengar mereka sedang perkara dengan seseorang bernama Tuhan!”
Kami tiba pada sebuah puncak bukit. Dari atas puncak itu kami melihat kemegahan tak terkatakan. Ada kabut tebal terbang perlahan naik dan memenuhi kaki kami lalu tertiup jauh ke atas entah ke mana. Riuh tangis dari parit berapi terdengar menyayat hati. Di balik awan mendung terdengar sorak nyanyian gembira, entah di mana aku pun tak melihatnya. Ia bersembunyi. Lalu aku pun tertidur. “Bangunlah!” Aku mendengar suara itu, suara dari teman seperjalananku. Aku berdiri tepat di hadapannya, lalu ia mulai berbicara.
“Dengarkanlah, wahai manusia. Di dalam dirimu engkau tidak hanya memiliki satu jiwa. Kau memiliki jutaan jiwa. Jika satu telah pergi dari dalam tubuhnya maka jiwa yang lain pun akan masuk tinggal di dalamnya. Jiwa-jiwa itu mempunyai karakter dan kondisinya masing-masing. Tubuh hanyalah tempat persinggahan bagi jiwa-jiwa itu. Jika engkau sedang marah, itu berarti jiwa yang masuk dalam tubuhmu sedang marah. Jika engkau sakit itu berarti jiwa yang masuk adalah jiwa yang sakit. Jika engkau ingin membunuh itu berarti jiwa yang masuk sedang ingin membunuh. Dan jika engkau berbaik hati itu berarti jiwa yang masuk adalah jiwa yang baik.”
“Jika jiwa tak pernah mati dan hanya satu pada setiap tubuh, mengapa ada sakit, mengapa ada kemarahan dan kebencian jika jiwa itu hanya terlahir sebagai jiwa yang tak mengenal dendam dan amarah? Sungguh tubuhmu adalah tempat persinggahan bagi jiwa-jiwa. Ada jiwa yang jahat, ada jiwa yang kejam, ada jiwa yang baik. Tubuhmu setiap saat dikondisikan oleh setiap jiwa yang masuk ke dalamnya. Bahkan jiwa binatang liar sekalipun pernah singgah dalam tubuhmu. Jiwa-jiwa itu berpindah-pindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain! Setiap wajah yang kau lihat dalam perjalanan adalah proyeksi tentang dirimu sendiri dan setiap perbuatan yang telah kau lakukan.”
“Bagaimana mungkin?”
“Ya, sama seperti engkau dan bayang-bayangmu dalam diriku. Tak ada wajah orang lain selain gambar tentang bentuk luar tubuhmu!”
“Kau tentu lupa padaku sebab sebelum engkau pergi kau telah membuat diriku retak. Engkau akan mengerti aku tidak dapat lagi memantulkan satu wajahmu jika engkau berdiri di hadapanku melainkan dalam jumlah yang banyak. Cerminmu telah retak. Jiwa-jiwamu seperti bayang-bayang yang terpantul dari tubuhku yang telah retak ini. Lidahmu adalah lonceng yang memanggil jiwa-jiwa itu masuk ke dalam tubuhmu. Jika pikiranmu mampu terangkai secara indah oleh lidahmu maka jiwa yang hadir pun adalah jiwa yang lembut dan santun katanya. Demikian kematian singkat itu terjadi dan pertemuan antara aku dan jiwa-jiwaku serta cermin retak yang telah berbicara padaku. Ialah cermin satu-satunya yang pernah ku miliki.” Kemudian ia mengantarku kembali.
Aku terbangun pada pagi yang dingin. Tubuhku telah basah kuyup, kilatan terus menyambar di udara serta angin yang tak henti bergemuruh. Tak ada orang yang mengenalku bahkan aku hanya dianggap seonggok sampah yang pantas untuk dibuang. Tubuhku menggigil hebat dan orang hanya pergi berlalu. Tak ada yang peduli, perutku lapar dan tak ada rumah yang dapat ku tumpangi. Tubuhku penuh dengan lumpur dan tak ada kendaraan pejabat yang sudi mengizinkanku untuk menumpang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar